INDOSATUNEWS.COM – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) kian serius mengupayakan penerapan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice bagi narapidana dewasa.
Untuk itu, pedoman terkait penerapan kebijakan tersebut pun tengah disusun.
Sebelumnya, Ditjenpas menggandeng Center for Detention Studies (CDS) guna berdiskusi tentang penyusunan pedoman penerapannya di Kantor Ditjenpas, Jakarta Pusat.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Heni Yuwono mengatakan, Keadilan Restoratif merupakan salah satu program prioritas yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Menurutnya, institusi penegak hukum lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung juga telah mulai menerapkan Restorative Justice pada kasus tindak pidana anak maupun dewasa.
“Kita (Kami) berdiskusi hari ini dengan mengumpulkan pakar untuk membuat kerangka restorative justice pemasyarakatan, khususnya bagi narapidana dewasa dengan tetap menjaga marwah Pemasyarakatan dan independensi pembinaan warga binaan pemasyarakatan (WBP),” tutur Heni dalam keterangan tertulis Humas dan Protokol Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM.
Sementara itu, Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (Bimkemas PA) Pujo Harinto optimistis terkait penerapan kebijakan itu dengan berkaca pada keberhasilan Keadilan Restoratif pada perkara anak.
Pasalnya, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), angka pemidanaan penjara pada anak berhasil ditekan.
Berdasarkan data Direktorat Bimkemas PA, di tahun 2020, jumlah pemenjaraan anak turun menjadi 25 persen, sementara 75 persen lainnya berhasil diselesaikan dengan putusan nonpenjara. Jumlah ini jauh menurun bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, yang mana puncaknya pada 2013 putusan penjara anak mencapai 90 persen.
Pujo menegaskan, konsep utama Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
“Untuk itu, kita mencarikan bagaimana memperlakukan para pelanggar hukum dengan tujuan utama memulihkan dengan tetap mempertimbangkan HAM masing-masing orang,” tutur Pujo.
Menurut Pujo, kebijakan tersebut sangat berpotensi diterapkan pada kasus kejahatan yang tidak terlalu berat.
Terlebih saat ini, semangat punitive (penghukuman) masyarakat telah menyebabkan keadaan kelebihan penghuni (overcrowded) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Overcrowded ini menjadi sumber utama berbagai permasalahan Pemasyarakatan, seperti pelarian, kerusuhan, penyelundupan narkoba, pungutan liar, penyakit menular, residivisme, hingga membengkaknya anggaran penyelenggaraan pemasyarakatan.
Menurutnya, penyelenggaraan Keadilan Restoratif di pemasyarakatan akan diarahkan pada tahap pra-ajudikasi, ajudikasi, hingga post-ajudikasi.
Di pemasyarakatan, Keadilan Restoratif sebenarnya sudah diimplementasikan, di antaranya melalui keberadaan PK dan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas).
Ia berharap, dengan sinergi dan harmonisasi yang baik antara seluruh institusi penegak hukum, pelaksanaan restorative justice di Indonesia dapat terlaksana. (Dede).