News, Utama  

Kronologi Penetapan Empat Hakim Jadi Tersangka Suap

Penyingkapan kasus dugaan suap dalam penanganan perkara ekspor CPO ini tidak lepas dari putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat pada tanggal 19 Maret 2025.

Saat itu, majelis hakim yang terdiri dari D, ASB, dan AM, menyidangkan kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO untuk periode Januari-April 2022 dengan tiga terdakwa korporasi: Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group,.

D, ASB ,dan AM memutuskan perkara tersebut dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau dalam hukum Indonesia dikenal onslag van rechtsvervolging dalam istilah Belanda.

Dengan kata lain, para terdakwa terbukti melakukan apa yang dituduhkan, tetapi menurut hukum, perbuatan itu bukanlah sebuah kejahatan atau tindak pidana.

Pada Sabtu (12/04) petang, Kejaksaan Agung menetapkan Ketua PN Jakarta Selatan, MAN, sebagai tersangka suap.

Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar mengatakan bahwa MAN sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

Temuan penyidik Kejaksaan Agung mengungkapkan dua pengacara MS dan AR selaku advokat memberikan Rp 60 miliar agar majelis hakim yang mengadili kasus CPO memberi putusan lepas.

Kepada kantor berita Reuters, Wilmar International Limited yang berbasis di Singapura mengatakan penyelidikan kasus itu tidak melibatkan Wilmar Group ataupun karyawan mereka “sejauh pengetahuan terbaik” perusahaan.

“Kami meyakini sepenuhnya bahwa kami tidak bersalah atas tuduhan-tuduhan yang mungkin ada. Langkah-langkah yang kami ambil pada masa itu, yaitu berupaya meningkatkan pasokan minyak sawit ke pasar meskipun harus menanggung biaya tambahan, semata-mata bertujuan untuk membantu pemerintah memperbaiki ketersediaan di dalam negeri sekaligus menekan harga,” tulis Wilmar International Limited dalam pernyataannya.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) mengatur korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijerat dalam kasus korupsi.

Adapun hukum acara pidananya diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016.

Secara spesifik, Perma No 13/2016 menyebut korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana—termasuk korupsi—apabila memenuhi salah satu atau lebih kriteria berikut:

  • Korporasi mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut
  • Tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi
  • Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.
  • Korporasi tidak melakukan langkah-langkah pencegahan yang diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

Meskipun demikian, peneliti ICW, Muhammad Yassar, mengatakan penjeratan korporasi selaku subjek hukum masih menjadi permasalahan mendasar dalam pemberantasan korupsi.

Mengapa?

“Sebab, pada KUHAP, belum tercantum ketentuan yang cukup progresif dan komprehensif dalam hal pemidanaan korporasi,” ujar Yassar, Selasa (15/04).

Yassar menyebut Perma No 13/2016 masih berupa “ketentuan parsial” terkait pemidanaan korporasi.

“Pada kasus-kasus korupsi, sayangnya peraturan ini masih sangat jarang dioperasionalkan oleh penegak hukum,” jelasnya.

“Salah satu sebabnya karena substansi peraturannya tidak berada di level undang-undang. Ini menyebabkan kebingungan bagi penegak hukum karena banyak interpretasi terkait regulasi yang seharusnya dijadikan acuan dalam memidanakan korporasi.”

Lebih lanjut, Yassar mengatakan secara kapasitas, penegak hukum di Indonesia sering kali kesulitan untuk membedakan kapan suatu tindak pidana merupakan tanggung jawab dari korporasi dan kapan itu menjadi tanggung jawab dari individu.

ICW mencatat ada setidaknya 252 pengusaha atau swasta yang menjalani persidangan kasus korupsi di tahun 2023.

“Namun ini merujuk pada individu, bukan korporasi sebagai badan hukum,” ujar Yassar.

Dari data yang sama, setidaknya hanya ada tiga korporasi yang didakwa dalam kasus korupsi dari total 898 terdakwa di tingkat pengadilan negeri.

Sedangkan di tingkat pengadilan tinggi, hanya ada 6 korporasi dari 582 total terdakwa yang berhasil disidangkan.

“Keseluruhan kasus yang melibatkan korporasi sebagai badan hukum menggunakan delik kerugian negara pada UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukan delik suap,” ujar Yassar.

Terpisah, Guru Besar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, mengamati banyak penegak hukum yang menerapkan ultimum remedium atau “pidana sebagai obat terakhir”.

“Di Indonesia sering kali pidananya dikesampingkan, lalu yang dikasih adalah sanksi administratif dengan alasan ultimum remedium,” ujarnya.

Andri menekankan pentingnya penegakan hukum pidana dalam kasus korupsi atau suap sebagai bentuk penegasan negara yang mengutuk tindakan tersebut.

“Bisa jadi jumlah dendanya tidak jauh berbeda. Tapi pidana itu adalah ekspresi negara mencela sebuah perbuatan. Ekspresi pencelaan ini tidak ada dalam sanksi administratif,” tegasnya.

Sementara pakar hukum dan tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, mengatakan penegak hukum harus benar-benar memahami konsep “kejahatan perusahaan” yang sudah diatur dalam UU Tipikor.

“Aparat hukum hukum harus bisa mencermati dan mendalami kejahatan yang terjadi terkait suatu perusahaan,” ujar Yenti.

“Kalau sudah terbukti, maka bisa dilakukan pemidanaan sampai yang terberat pencabutan izin dan disertai dengan denda. Dan yang lebih penting lagi: pengembalian semua keuntungan perusahaan yang dihitung sejak terbukti terlibat kejahatan.”

Berkaca dari penanganan kasus suap perkara ekspor CPO dimana Kejaksaan Agung memamerkan barang sitaan berupa mobil mewah, Yenti menilai adanya peluang penggunaan pasal TPPU.

“Ketika barang bukti yang disita adalah mobil mewah, urusannya bukan semata korupsi, melainkan sudah nyata, ada indikasi tindak pidana pencucian uang untuk mempercepat penyitaan dan perampasan [aset],” ujar Yenti.

“Di Indonesia, pidana berat untuk korupsi diperlukan. Enggak jera-jera soalnya. Memang akan lebih jera kalau disita dan dimiskinkan.”