INDOSATUNEWS.COM – Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.
Sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana, lembaga pemasyarakatan (Lapas) memiliki peran dalam pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan melalui sistem pemasyarakatan berbasis pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi.
Berdasarkan data pada sistem database pemasyarakatan tanggal 5 Agustus 2018 jumlah tahanan dan warga binaan di seluruh Lapas dan Rutan di Indonesia sebanyak 250.444 orang. Jumlah tersebut jauh melebihi kapasitas ideal yang dapat ditampung oleh Lapas dan Rutan seluruhnya yang hanya 124.696 orang.
Namun dalam perkembangannya pembinaan yang dilakukan tersebut menjadi tidak optimal karena kompleksnya permasalahan yang terjadi di dalam Lapas. Salah satu yang menjadi akar permasalahan di Lapas/Rutan adalah kelebihan daya tampung (over capacity).
Akibat dari adanya over kapasitas tersebut, antara lain berdampak pada buruknya kondisi kesehatan dan suasana psikologis warga binaan dan tahanan, mudahnya terjadi konflik antar penghuni Lapas/Rutan, pembinaan menjadi tidak optimal dan tidak berjalan sesuai ketentuan serta terjadi pembengkakan anggaran akibat meningkatnya konsumsi air, listrik, dan bahan makanan.
Puncaknya terjadinya kerusuhan dan kasus pelarian warga binaan dan tahanan karena pengawasan yang tidak maksimal akibat dari tidak seimbangnya jumlah penjaga tahanan/petugas pemasyarakatan dengan penghuni Lapas/Rutan.
Munculnya wacana restorative justice merupakan jawaban atas hancurnya sistem pemidanaan yang ada saat ini dimana sistem tersebut sudah tidak efektif dalam menekan tingginya angka kriminalitas yang berujung pada over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan.
Konsep Restorative Justice memiliki metode implementasi dalam bentuk mediasi penal dan diversi, meskipun keduanya memiliki cara dan sudut pandang yang sama, namun terkadang penggunaannya berada dalam wilayah hukum yang berbeda.
Berbagai kebijakan telah diambil untuk mengatasi permasalahan over kapasitas tersebut diantaranya melalui rehabilitasi bangunan hingga pembangunan gedung baru dengan tujuan menambah daya tampung Lapas dan Rutan. Namun kebijakan tersebut tidak secara signifikan mampu mengatasi permasalahan over kapasitas mengingat penambahan jumlah tahanan dan warga binaan yang masih jauh lebih banyak akibat dari tingginya tingkat kriminalitas dimasyarakat.
Hal ini sangat penting agar tidak semua pelaku kejahatan harus masuk ke lembaga pemasyarakatan padahal beberapa tindak pidana justru dapat diselesaikan di tingkat kepolisian dan kejaksaan tanpa harus dilakukan hukuman badan berupa pemidanaan.
Upaya yang mungkin lebih tepat dilakukan untuk menanggulangi kelebihan daya tampung di lembaga pemasyarakatan ini salah satunya dapat ditempuh dengan pendekatan Restorative Justice, yaitu pergeseran pemidanaan dalam sistem peradilan pidana yang lebih mengutamakan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana selain bisa juga dengan alternatif hukuman seperti kerja sosial dan lainnya.
Konsep peradilan pidana konvensional yang hanya berfokus pada pemidanaan dan penghukuman pelaku kejahatan belum menyentuh kepentingan korban dan/atau masyarakat yang dirugikan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Restorative Justice lebih memandang pemidanaan dari sudut yang berbeda, yaitu berkaitan mengenai pemenuhan atas kerugian yang diderita oleh korban sehingga kedamaian menjadi tujuan akhir dari konsep ini.
Konsep ini tidak serta merta menghilangkan pidana penjara, namun dalam kasus- kasus tertentu yang menimbulkan kerugian secara massal dan berkaitan dengan nyawa seseorang, maka pidana penjara masih dapat digunakan.
Mediasi penal lebih dikaitkan dengan perkara-perkara pidana biasa sedangkan diversi merupakan peristilahan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pendekatan restorative justice sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, dengan menyelenggarakan dan menjadi penengah proses mediasi atau perdamaian antara pelaku tindak pidana dengan korban dan keluarganya.
Namun penerapan Restorative Justice di dalam sistem hukum Indonesia masih bersifat parsial dan tidak komprehensif karena masih tersebar dalam berbagai instrumen hukum dan kebijakan dan belum diterapkan secara menyeluruh dalam sistem peradilan pidana kita.
Faktor lain yang menghambat penerapan konsep restorative justice sebagai upaya mengurangi over kapasitas lembaga pemasyarakatan adalah faktor perundang-undangan yaitu belum adanya undang-undang yang mengatur penggunaan restoratif justice melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) terhadap perkara pidana.
Mahkamah Agung mengatakan perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan.
Kemudian ada putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan sanksi adat maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan di pengadilan dengan dakwaan yang sama melanggar hukum yang ada dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Namun sekali lagi yurisprudensi ini tidak cukup kuat untuk digunakan karena indonesia bukan negara yang menganut sistem hukum anglo saxon sehingga hakim tidak terikat dengan yurisprudensi (putusan hakim sebelumnya).
Beberapa upaya telah dilakukan secara sektoral dan parsial oleh penegak hukum diantaranya Institusi Kepolisian melalui surat Kapolri Nomor Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS yang mengupayakan penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan jalur alternatif diluar pengadilan melalui mediasi penal sebagai penerapan dari konsep ADR.
Namun karena kedudukan surat Kapolri tersebut dibawah Undang-Undang (KUHP dan KUHAP) maka tidak jarang surat Kapolri tersebut mentah dan tidak dapat digunakan karena dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kemudian pada lembaga peradilan juga terdapat beberapa yurisprudensi terkait penerapan restorative justice diantaranya putusan Mahkamah Agung RI No. 1600 K/Pid/2009.Dalam putusan tersebut majelis hakim menyatakan bahwa salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana. Kemudian majelis hakim menilai pencabutan perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang terganggu.
Untuk itu perlu upaya yang lebih serius dalam menerapkan upaya restorative justice dalam sistem peradilan pidana sebagai salah satu solusi menyelesaikan permasalahan over kapasitas di lembaga permasyarakatan yang salah satunya dengan melembagakan prinsip-prinsip restorative justice dalam bentuk norma dalam RUU KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga seluruh sub sistem dalam sistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan mempunyai dasar hukum yang kuat untuk menerapkannya.
Dengan demikian diharapkan persoalan over kapasitas di lembaga pemasyarakatan dapat terselesaikan mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dari persoalan tersebut tidak sedikit dan menghabiskan anggaran negara. (***).